Cita-cita anak-anak dulu sering kali berkutat di sekitar profesi yang dianggap bergengsi dan stabil secara sosial maupun ekonomi: dokter, insinyur, guru, atau tentara. slot qris resmi Namun, zaman berubah. Hari ini, semakin banyak anak yang bermimpi menjadi kreator konten, atlet e-sports, animator, perancang gim, fotografer alam liar, atau bahkan peternak ikan hias. Perkembangan teknologi, media sosial, dan akses informasi yang luas telah membuka cakrawala baru yang sebelumnya nyaris tak terpikirkan.
Pertanyaannya, apakah sistem sekolah yang kita miliki saat ini sudah siap mengakomodasi perubahan cara berpikir ini?
Sekolah dan Paradigma Profesi Konvensional
Sebagian besar sistem pendidikan formal masih berdiri di atas fondasi lama: melatih siswa agar siap masuk universitas, lalu bekerja di sektor profesional yang sudah mapan. Tak jarang, sekolah memberikan penekanan lebih pada bidang-bidang akademis seperti sains, matematika, dan teknologi, seolah-olah hanya itulah jalur yang dianggap “serius” dan “bermanfaat.”
Di sisi lain, minat anak-anak terhadap bidang kreatif, kewirausahaan, atau dunia digital sering kali dianggap sebagai hobi sampingan. Ketika seorang anak mengutarakan keinginan menjadi penulis naskah film atau pengembang gim, respons yang muncul bisa jadi lebih bernada ragu ketimbang mendukung.
Hal ini menunjukkan bahwa sekolah belum sepenuhnya siap menerima realitas bahwa arah cita-cita generasi baru telah bergeser.
Ketidaksesuaian antara Kurikulum dan Dunia Nyata
Dunia kerja dan dunia sekolah berjalan dalam dua lajur yang kadang tidak saling bertemu. Misalnya, sekolah mungkin masih mengajarkan teori komunikasi konvensional, sementara anak-anak justru belajar komunikasi melalui praktik langsung membuat konten video, mengelola kanal YouTube, atau berinteraksi lewat forum daring.
Kurikulum yang kaku dan berorientasi pada hafalan bisa membuat anak kehilangan motivasi, terutama ketika mereka merasa apa yang mereka pelajari tidak relevan dengan impian mereka. Bakat-bakat yang tidak sesuai jalur akademik sering kali kurang diberi ruang untuk tumbuh. Kreativitas, inovasi, dan kemampuan problem-solving kontekstual tidak mendapatkan porsi yang setara dengan kemampuan mengerjakan soal ujian.
Guru dan Orang Tua dalam Persimpangan
Tidak semua guru dan orang tua siap menerima pergeseran cita-cita ini. Banyak dari mereka dibesarkan dalam sistem yang mengukur keberhasilan melalui gelar dan jabatan formal. Maka tak heran jika muncul kekhawatiran ketika anak menyampaikan keinginan untuk meniti jalur yang dianggap “tidak aman” atau “tidak jelas masa depannya.”
Namun, dunia kerja sudah menunjukkan bahwa banyak pekerjaan baru bermunculan—bahkan ada yang belum ada lima tahun lalu. Kebutuhan terhadap skill yang fleksibel, pemikiran lintas bidang, dan kemampuan adaptif semakin tinggi. Peran guru dan orang tua seharusnya tidak lagi menuntun ke satu jalan, melainkan mendampingi anak mengenali dirinya dan menavigasi berbagai kemungkinan yang tersedia.
Perlu Model Pendidikan yang Lebih Fleksibel
Untuk menjawab tantangan ini, sekolah perlu bertransformasi menjadi ruang yang memberi ruang eksplorasi, bukan hanya penyeragaman. Kurikulum bisa dirancang lebih terbuka, dengan proyek berbasis minat, ruang untuk kolaborasi lintas bidang, dan integrasi teknologi secara kritis. Anak perlu diajak berpikir tentang dampak dari pekerjaan yang mereka inginkan, bukan hanya apakah pekerjaan itu populer atau tidak.
Program bimbingan karier pun harus diperluas, tidak lagi hanya mengenalkan profesi klasik, tetapi juga menggali potensi di bidang-bidang yang sedang berkembang. Dunia kreatif, teknologi digital, serta kewirausahaan berbasis komunitas patut dimasukkan ke dalam peta orientasi masa depan.
Kesimpulan
Cita-cita anak-anak kini tidak lagi terbatas pada profesi seperti dokter atau insinyur. Mereka tumbuh dalam dunia yang penuh kemungkinan, di mana jalur hidup bisa ditempuh dari berbagai arah. Sistem pendidikan pun ditantang untuk berbenah: dari sekadar mempersiapkan anak lulus ujian, menjadi tempat yang benar-benar mendukung anak mengenali potensi dirinya.
Apabila sekolah tidak mengikuti perubahan ini, bukan tidak mungkin justru sekolahlah yang tertinggal—bukan anak-anaknya.